11 - Di Bumi Prindavan

Misi Mustahil Mildan

CG Lucaz
6 min readMar 23, 2023

PLAK!

Untuk kesekian kalinya, Dicky menepuk nyamuk yang hinggap di tubuhnya. Serangga-serangga itu berusaha menyedot darah dari wajah, leher, lengan—area kulit mana pun, asal tidak terhalang pakaian. Kali ini, ia tidak sanggup lagi menahan gerutunya.

Buset dah, ini nyamuk kaga ada habisnye napa dah?!?

“Wajar atuh, Dick, kan ini rumahnya mereka. Kita justru yang permisi,” jawab Darma dengan santai. Ia berjalan di depan Dicky sambil mengibas-ngibaskan portal, menyapu berandal cilik yang beterbangan menghampirinya. Ryan sudah mendahului Darma di depan untuk memandu Mildan yang siap dengan goloknya. Mereka menembus hutan lebat di negeri Prindavan, berusaha mencari titik merah pada di peta yang dibawa Ryan.

“Apa tadi nama tempatnya, Ma?” tanya Dicky.

“Aku lupa eh, apa namanya tadi… ‘udin-udin’ gimana gitu,” jawab Darma.

Seriusan, cuy. Namanya apa? Pengen tau gue, adeh.

“Namanya ‘Navihdin’,” seru Ryan dari barisan depan. “Ini di peta tulisannya begitu.”

Oalah, ribet bener dah namanya,” Dicky terdiam untuk beberapa saat sebelum kembali bertanya, “masih jauh, kah?”

“Tidak, kita sudah sampai,” Mildan menjawab sambil menyeka keringat di dahinya. Di depannya, sinar matahari sore sudah menembus semak terakhir yang menghalagi jalan mereka. Jelas, mereka sudah berada pada titik merah yang dimaksud pada peta. Ia tersenyum sambil membelah semak itu. SREK!

Di hadapan para pemuda, ada lanskap hijau yang membentang luas — di tengah-tengah hutan. Kali ini, tidak hanya pepohonan yang mengisi area itu, melainkan pondok-pondok kecil. Ada cukup banyak manusia yang beraktivitas di sana — seorang pria mengangkat seikat kayu bakar; seorang ibu memasak suatu ramuan di dalam kuali besar; dan anak-anak kecil yang asyik bermain di halaman belakang rumah. Para perempuan mengenakan kain tenun warna-warni sampai ke bahu, sementara sebagian besar lelaki lanya mengenakan kain itu sebagai “sarung”.

sumber: craiyon.com (diciptakan 23–3–2023)

“Ini ‘Navihdin’ itu? Desa?” Dicky berkomentar. Mereka berempat sedang mengamati pemandangan itu dari tepi hutan. Apa yang tampak seperti pedesaan itu hanya berjarak kurang lebih 20 meter dari tempat mereka berdiri. Mildan menyarungkan goloknya dan menyimpannya di dalam ransel.

“Mungkin?” jawab Ryan. “Kita mencari kucing di sini, kalau tidak salah?”

“Kucing bulu sutra. Tapi aku sangsi kucing itu ada di sini,” sahut Darma. “Dari tadi aku cuma lihat embek sama sapi,” ia menunjuk kandang kambing di samping sebuah rumah. Sang pemilik rumah — seorang pria paruh baya — sedang memberi rerumputan untuk santap sore ternak-ternaknya.

“Mestinya kita tanya aja sama warga sekitar, nggak?” Ryan mengonfirmasi kepada ketua tim. Belum sempat Mildan menjawab, terdengar suara yang membuat keempat pemuda terkejut.

KELILILILILILILILILILILILI…!!!

Ternyata, sumber suara itu adalah si ibu yang sedang masak. Sambil “melolong”, ia berhenti mengaduk dan justru memukul-mukul sodetnya ke bibir kuali. Dengan kedua matanya yang melotot, ibu itu menatap para pemuda dengan tampang horor. TANG TANG TANG TANG TANG…!

Bapak yang memelihara kambing sontak menoleh ke seberang rumahnya —tempat si ibu — sebelum menyadari kehadiran Mildan cs di tepi hutan. Ia ikut berteriak, tetapi bukan lolongan dan bahasanya tidak jelas. Ia langsung menjatuhkan rumputnya dan masuk ke dalam rumah. Anak-anak di halaman belakang bubar dari permainan mereka, ikut berteriak-teriak dan berlarian; membuat suasana semakin ricuh. Para pemukim di rumah-rumah lain ikut menyadari adanya keributan itu.

Eh, mereka mau ngapain?” Dicky bereaksi, tidak tenang.

“Mungkin itu alarm system mereka kalau ada strangers? Aku tidak tahu.” tanggap Ryan, santai.

“Kita gimana, Mil? Berlindung?” Darma bertanya sambil garuk-garuk kepala.

Kalem dulu, guys. Barangkali mereka hanya takut,” Mildan maju untuk mencari pijakan yang lebih lega. Ia menaruh tasnya di tanah, dan mengambil posisi duduk bersila.

“Jangan kita panik dan ikut-ikutan takut,” sambungnya sebelum memejamkan mata. Ia sedang menenangkan diri sesuai dengan ilmu yang pelajari di Merpati Putih.

Ryan dan Darma mengambil tempat di kiri dan kanan belakang Mildan. Mereka memang tidak ikut-ikutan bersila dan memejamkan mata, tetapi mereka tahu jika kabur — atau melawan — akan menjadi usaha percuma. Darma mengamati gerombolan warga yang datang bergerombol dari kejauhan, tentunya ke arah mereka berempat. Ryan justru mengambil kesempatan untuk menulis beberapa baris baru di catatan HP-nya yang hampir lowbatt.

Woy! Ko malah sante sih? Itu lihat ada yang bawa tombak! Kabur woy!” teriak Dicky. Ia masih berdiri sambil gemetaran. Ryan masih fokus mengetik dan Mildan masih “zen mode”. Darma menoleh ke belakang dan meminta Dicky untuk duduk juga.

“Jangan panik, Dick. Asal kita gak bikin rusuh, kita aman. Anggep ini proses ‘kenalan’,” jelas Darma sambil meneguk ludah. Ia sebetulnya juga ketakutan, tetapi ia mampu menahan rasa takut itu karena melihat Mildan dan Ryan yang tetap tenang.

Ah, gak mau mati gue. Cabut, cabut, bye!” Dicky menambil langkah seribu dan masuk lagi ke dalam hutan. Darma tidak bisa bereaksi apa-apa ketika ia melihat satu sahabatnya pergi. Di sampingnya, Ryan memasukkan HP ke dalam saku celana. Ia menyadari kalau gerombolan warga yang berteriak-teriak sudah sangat dekat — suara mereka bulat dan keras.

KELILILILILILILILILILILILI…!!!

Mereka bertiga tidak bergeming ketika para warga mulai melingkari mereka. Darma menutupi kepalanya dengan tangan, sementara Ryan menatap ke mendongakkan kepalanya sedikit agar bisa mengamati satu per satu wajah para warga. Ternyata, semuanya memiliki aksesori tindik di hidung mereka — lingkaran-lingkaran besar berwarna coklat — semakin membuat tatapan mereka mengerikan. Sebagian dari mereka sudah berhenti melolong, sebagian masih.

KELILILILILILILILILILILILI…!!!

Barisan di belakang mereka terbuka. Darma dan Ryan menengok. Tak disangka, Dicky sedang diseret oleh dua orang warga bertubuh kekar dan menyuruhnya duduk bersama ketiga temannya. Ia hanya bisa pasrah dan menurut.

Tampaknya mereka adalah pemuda yang sedang berburu. Ada busur dan anak panah yang diselempangkan, batin Ryan. Ia dan Darma menyambut Dicky dengan senyuman hangat, setengah sarkas. Pemuda Cibubur itu hanya memasang muka cemberut.

KELILILILILILILILILILILILI —

Lolongan itu berhenti seketika. Mildan membuka matanya, lalu mendongak ke atas dengan perlahan. Ia melihat pemandangan yang tidak biasa. Orang-orang desa itu sama sekali tidak menghunuskan senjata tajam mereka ke arahnya ataupun kawan-kawannya. Mereka hanya “mengepung” mereka.

sumber: craiyon.com (diciptakan 23–3–2023)

Tiga puluh detik keheningan terasa sangat lama, sebelum warga-warga di depan Mildan membuka jalan. Ia melihat seorang pria berjalan menghampirinya. Pria itu berjalan dengan tegap, waspada agar kainnya tidak menyentuh tanah, tetapi bola matanya tetap menjurus ke arah Mildan. Di kanan-kirinya, para warga menundukkan kepala mereka ketika pria itu melintas.

Dia punya wibawa dan karisma, ucap Mildan dalam hati.

Pria itu mengenakan kain yang berbeda dari kepunyaan para warga, sebab warnanya tidak kusam dan dipenuhi motif-motif unik. Rambut panjangnya diikat dengan rapi, dan ia juga membawa tongkat jalan yang memiliki ukiran.

Mewah, Ryan kembali berpikir. Kepala desa, kah?

Pria itu berhenti tepat dua langkah di depan Mildan. Ia lalu melihat Darma, Dicky, dan Ryan untuk sekilas.

“Akerem hakini?” tanya pria itu kepada warga terdekat, yakni si ibu yang pertama kali melihat para pemuda. Ibu itu mengangguk.

“Akerem ratna, gnolot utigeb ualak!” perintah pria itu sebelum membalikkan badan. Ia menghilang di balik para warga yang langsung membuat barrier lagi. Mildan dan kawan-kawannya tidak tahu apa yang akan terjadi.

NATUBMAS IREB ATIK IRAM!

Teriak seorang pria di antara kerumunan warga. Sejurus kemudian, seperti ada suara “bedug” yang menyambut seruan pria tadi. DUG DUG DUG DUG!

ARIBMEGREB ATIK IRAM!

Dari sisi berlawanan, seorang wanita berseru. Suaranya tidak kalah dengan pria tadi. Suara bedug kembali terdengar dari balik kerumunan. Ternyata, ada sebuah kuatret yang membawa semacam gendang kulit sapi yang dikalungkan. Mereka membunyikan gendang itu dengan pukulan kayu.

DUG DUG DUG DUG!

Mildan merasa akan terjadi sesuatu yang heboh. Ia lantas menoleh ke arah teman-temannya.

Guys, apa pun yang kalian pikirkan, ikuti saja apa yang mereka lakukan. Kita pasti bisa melalui ini semua,” bisiknya.

“Oke, Mil,” respons Darma dan Ryan.

“Apa? Gue gak denger?” sahut Dicky dari belakang.

Mildan mengulangi kalimatnya dengan volume lebih keras, tetapi suaranya tetap kalah dengan teriakan lantang seorang pria yang berdiri tepat di belakang Dicky.

AYNNAKARA-KARA IALUM ATIK IRAM!

Gendang pun bertabuhan, para warga mulai berdendang, dan kerumunan itu sama-sama berjoget ria.

— BERSAMBUNG BESOK! —

--

--

CG Lucaz

Ora gampang dik, dadi wong pinter. Kudu sinau, ben iso dadi d̶o̶k̶t̶e̶r writer!