12 - Utar Anilop

Misi Mustahil Mildan

CG Lucaz
6 min readMar 25, 2023

KELILILILILILILILILI!!!…

DUG DUG DUG DUG!!!…

NAVIHDIN ID GNATAD TAMALES!!!…

Rombongan warga itu menari, menyanyi, dan memainkan gendang dengan begitu semangat. Tak sampai di situ, mereka juga bergerak, atau dengan kata lain: “menggiring” keempat pemuda itu. Tanpa pikir panjang, Mildan, Ryan, Darma, dan Dicky langsung mengenakan tas mereka dan bangkit.

“Diangkutnya gini amat, dah,” komentar Dicky.

Aduh, Dicky. Sukur kamu teh, untung tadi enggak diapa-apain. Ni kita lagi disambut pakai cara mereka, biarin atuh,” Darma menegurnya sambil tersenyum.

“Ayo, guys, keep the tempo,” sahut Mildan. Maksudnya adalah langkah kaki mereka agar tidak memperlambat iring-iringan.

Rombongan itu melewati rumah-rumah tradisonal para warga. Jumlahnya ternyata lumayan banyak. Anak-anak yang masih terlalu kecil, ibu-ibu yang menggendong bayi, dan para lansia mengamati arak-arakan itu dari pelataran rumah mereka.

Setelahnya, ada peternakan dan kebun-kebun kecil. Karena jalanan yang menyempit, para warga tidak lagi menutupi sisi samping dari para pemuda. Mereka berempat takjub ketika melihat luasnya kebun terakhir yang mereka lintasi, dengan bunga yang baru pertama kali mereka temukan.

Bunganya mirip dengan lavender — ungu dan memanjang. Tercium aroma manis bunga itu — cukup kuat, mengingat jaraknya di kanan-kiri hanya sejauh lencangan tangan dan tinggi batangnya kurang lebih sama dengan dada para pemuda.

“Bunga apaan nih, Ma?” tanya Ryan. Sudah bukan rahasia umum kalau Darma paham betul urusan tanaman. Dialah yang paling sering membantu Pak Dazul mengurus taman di halaman kos mereka.

“Mungkin selasih, tapi selasih khas di sini,” ia masih mengingat-ingat, “oh, tulsi! Aku yakin,” serunya. “Daunnya yang dipake jadi selasih. Ini bunga suci, setahuku.”

Dicky, yang baru saja mengangkat tangannya untuk memetik bunga itu, mengurungkan niatnya. Ia tidak mau bikin masalah lagi.

Arak-arakan itu masih melaju tanpa kehilangan gairah. Gendang masih bertabuh, sorak-sorai berkumandang. Sesekali para pemuda ikut meramaikan suasana dengan bertepuk tangan. Untuk sesaat, mereka bisa menikmati momen semarak itu.

Tanpa mereka sadari, mereka sudah melewati perkebunan tulsi dan masuk ke lapangan luas. Akan tetapi, kali ini bukan lagi perumahan yang mereka lihat, melainkan beberapa bangunan yang berdiri berjauhan. Ukurannya tiga kali lipat lebih luas dari rumah para warga sebelumnya, dibuat dari batu, dan terkesan lebih “formal”; ada beberapa gambar, ukiran, dan papan penanda di depan masing-masing bangunan itu.

sumber: craiyon.com (diciptakan 25-3-2023)

Bukankah itu Krishna? Damar berkata dalam hati ketika melewati satu bangunan yang memajang patung anak kecil yang bermain seruling.

Ini mungkin tempat mereka bikin rapat desa, ya? batin Ryan.

Tiba-tiba, rombongan yang mengarak-arak para pemuda berhenti. Mereka sampai di depan bangunan yang paling besar. Terdapat sebuah gapura yang menjulang kekar, memagari bangunan megah itu. dan pria yang membawa tongkat tadi berdiri pada ambangnya.

“Ailum, gnay adap. akerem nakratna naka ayas hisak amiret aynaumes,” pria itu mengumandangkan suaranya dengan lantang. Semua warga menyimak.

“Aruh ailum gnay. Irad malas sativitkareb ilabmek. Nakalis!” seru pria itu.

“Aruh!” para warga merespons sebelum bubar jalan. Para pemuda ditinggalkan bersama beberapa pengawal — mungkin, karena merekalah lelaki-lelaki kekar yang membawa tombak tadi.

“Mari, ikuti saya,” pria yang berdiri di ambang gapura itu berkata kepada Mildan. Lalu, ia berjalan ke arah pintu masuk bangunan besar di belakangnya.

Akhirnya, ngerti juga bahasanya! Mildan, bersama ketiga kawannya, menapaki tangga gapura, diiringi para pengawal.

Sesampainya di selasar bangunan, pria itu memperkenalkan dirinya sebagai tangan kanan dari Yang Mulia Ratu. Keempat pemuda itu tentu saja terkejut.

Kerajaan di tengah hutan begini? Nyang bener aje! batin Dicky.

“Mohon maaf, Paduka,” ucap Ryan, “apakah berarti Navihdin ini adalah kerajaan?”

Paduka itu tersenyum ramah, “tentu saja, anak muda. Kalian sedang berada di Kerajaan Navihdin yang melegenda. Namaku Siva, dan Yang Mulia Ratu hendak menjamu kalian di dalam. Mari.”

Walah, ini istana berarti? Pantesan lumayan gede, pikir Darma sambil celingukan mengamati bangunan itu.

“Baik, Paduka Siva, terima kasih untuk penjelasannya,” kata Mildan. Dua orang pengawal membuka pintu istana dan mempersilakan mereka.

Di dalam, ada lorong panjang yang diapit aneka ragam ornamen. Ada pajangan baju adat dan aksesoris tradisional; senjata-senjata perang; hingga teks-teks yang dituliskan pada lembaran kulit, potongan kayu, dan lempengan batu. Lorong itu menjadi semacam museum mini bagi orang yang berkunjung ke sana.

Para pemuda masih asyik memperhatikan pernak-pernik tersebut ketika mereka sampai pada pintu di ujung lorong.

“Anak-anak, Yang Mulia Ratu ada di balik pintu ini. Bersikaplah dengan sepatutnya, dan nikmati waktu kalian di Navihdin,” ujar Paduka Siva.

Mildan cs mengangguk. Akan tetapi, Ryan melontarkan satu pertanyaan sesaat sebelum pintu dibukakan.

“Maaf, Paduka Siva. Bagaimana Paduka bisa berbahasa seperti kami, sementara rakyat di luar tadi tidak bisa?”

Paduka Siva hanya tersenyum. “Diplomasi, nak!”

Dicky, Ryan, Mildan, dan Darma dipersilakan duduk di meja perjamuan yang bentuknya persegi panjang. Mereka menempati sisi-sisi panjangnya, sementara kedua sisi pendek ditempati masing-masing oleh Paduka Siva dan Ratu Polina.

Ratu Polina adalah pemimpin termuda dari Kerajaan Navihdin. Mewariskan tahta dari mendiang ayahnya di usia lima tahun, karakter kuat dan tegas sudah terpatri dalam jiwanya. Penampilan dan perawakannya memang mencirikan seorang ratu dari negeri Prindavan, tetapi “aura laki”-nya bisa menandingi pria paling sangar mana pun, bahkan dari cara ia tertawa.

“AWOKAWOKAWOKAWOK! Jadi kalian bisa ke sini lewat mana, tadi?” tanya sang ratu sambil tertawa dam menggebrak-gebrak meja.

sumber: craiyon.com (diciptakan 25-3-2023)

Beberapa gelas kayu dan lilin hampir saja jatuh andaikata para pemuda tidak sigap menahannya. Tak hanya keempat pemuda, para pengawalnya sendiri pun merasa tidak enak melihat kelakuan ratu mereka. Sebetulnya Siva sudah memberikan kode dari seberang meja agar Ratu Polina tetap tenang, tetapi ia tidak menghiraukannya.

“Lewat sini, Yang Mulia.” Untuk ketiga kalinya, Darma mengangkat portal hula hoop dari kolong bangkunya.

Lima belas menit ia menceritakan sejarah kerajaannya, dua puluh dua menit ia menceritakan kisah dewa Krishna, dan lima menit ini ia ngakak tiada henti karena menanyakan asal-muasal kami, ketik Ryan di HP-nya, sembunyi-sembunyi di kolong meja.

“AWOKAWOKAWOKAWOK! Gak masuk akal! Coba buktiin!” seru Ratu Polina.

“Sebelumnya, mohon maaf, Yang Mulia,” Mildan mengintervensi, “portal kami tidak akan bekerja kalau kami belum menyelesaikan tugas kami di sini, yaitu mencari seekor kucing. Itulah mengapa kami merasa perlu bertemu dengan Yang Mulia Ratu.”

Selesai menyeka matanya yang berair karena keasyikan tertawa, Ratu Polina tampak lebih menaruh perhatian pada perkataan Mildan.

“Kucing, kamu bilang?” alis kanannya naik, membuat Mildan sedikit kikuk.

“Iya, Yang Mulia. Kucing berbulu sutera.”

Wow, bombastiez!” Ratu Polina menggebrak meja dengan kedua tangannya seraya berdiri, “aku suka kucing bulu sutera, dan aku melihara banyak! Ikut aku!”

Ratu Polina meninggalkan bangkunya, menuju lorong, dan masuk ke salah satu ruangan. Para pemuda diminta Paduka Siva untuk segera membuntuti sang Ratu. Akan tetapi, Ryan memutuskan untuk tinggal di ruang perjamuan bersamanya, menjaga barang bawaan mereka.

Ternyata, Ratu Polina punya ruangan khusus untuk playground anak-anak kucing. Kurang lebih ada lima puluh kittens di sana, berkeliaran bebas. Ada yang bulunya putih, hitam, oranye, cokelat, dwiwarna, bahkan calico, tetapi semuanya sama-sama mengkilap, fluffy, dan lembut. Darma dan Dicky berusaha mengelus salah satu dari mereka.

Halus pisan! batin Darma.

Ini fix kucing paling satisfying dan gemoy, ucap Dicky dalam hati.

“Ini semua kucing bulu sutera, Yang Mulia?” tanya Mildan.

Yap, betul. Tidak ada di belahan bumi lain. Mereka punya insting alami untuk bersih sejak kecil. Perhatikan, mereka tidak ada yang buang air sembarangan!”

“Tetapi, mengapa tidak ada kucing dewasanya?”

“Aku tidak suka kucing dewasanya. Menyusahkan saja di masa tua. Tempat mereka berkembang biak dan melahirkan ada di ruangan sebelah. Mereka yang sudah beranak akan aku persembahkan kepada dewa,” ucap sang ratu.

Mildan mengangguk-angguk tanda mengerti. Tetapi ia berusaha mengingat-ingat, kucing bulu sutera macam apa yang harus mereka cari. Tak kunjung ingat, ia membuka catatan yang diberikan Om Amirul.

Oh, kami mencari Olip, Yang Mulia. Namanya Olip.”

Ah, si Olip. Kucing payah. Awalnya favoritku, kalian bisa tahu dari kemiripan namanya,” Ratu Polina berbicara sambil berjalan-jalan di tengah playground, “tetapi dia mandul! Bayangkan, tak hanya menyusahkan di masa tuanya, ia sama sekali tidak berkontribusi untuk melanjutkan keturunan, menambah kitten manisku di sini! Padahal, sekarang dia masih usia produktif, harusnya….”

Ratu Polina tampak kecewa sekali dengan Olip. Mildan merasa bahwa ini bisa mengarah ke seuatu hal yang tidak ia inginkan. Ia akan bertanya untuk memastikan prediksinya.

“Apakah Olip akan dipersembahkan, Yang Mulia?”

Sang ratu menghentikan langkah kakinya dan menatap Mildan, kali ini dengan sorotan tajam. Perhatian Darma dan Dicky pun ikut tertuju kepada Ratu Polina.

“Tentu saja,” jawabnya, “dia masuk dalam daftar kucing-kucing yang akan dipersembahkan. Kebetulan sekali, seremoninya sore ini.”

Sekonyong-konyong gelombang kekhawatiran melanda ketiga pemuda itu.

— BERSAMBUNG BESOK! (SEMOGA) —

--

--

CG Lucaz

Ora gampang dik, dadi wong pinter. Kudu sinau, ben iso dadi d̶o̶k̶t̶e̶r writer!