Histoire de Chaîne #7

Cerita berantai dari (1) Khansa, (2) Elvira, (3) Amirul, (4) Sarwindah, (5) Wildan, dan (6) Riyan

CG Lucaz
3 min readMar 31, 2023

Clara masih ingat betul momen di mana ia bertemu dengan Handoko untuk pertama kalinya.

Waktu itu adalah hari perdana masuk kuliah. Clara berangkat ke kampusnya dengan terburu-buru. Ia seharusnya ikut sang ayah, tetapi semalaman ia mengerjakan tugas osjur yang melelahkan sehingga tidurnya bablas. Sang ayah sepertinya tidak tahu kalau anaknya punya jadwal pagi.

Lucunya, ketika sampai di parkiran fakultasnya, HP Clara tertinggal di rumah. Ia sama sekali tidak tahu harus masuk ke kelas mana. Ia berjalan dari parkiran ke lobi dengan linglung, tidak tahu mau bertanya ke siapa. Ia hanya berharap ada satu-dua wajah yang ia kenali dari profile picture teman-teman perempuan di grup WA angkatannya. Di lobi, ia mondar-mandir sambil mengamati orang-orang yang lewat.

Kalau lima menit ini ga ada temenku, tanya ke admin aja kali — BUK!

Clara yang berjalan ke kanan-kiri tidak menentu menubruk seseorang yang sedang melintas di belakangnya. Orang itu adalah lelaki muda yang sepertinya sesama mahasiswa.

“Oh, maaf, maaf, mas, gak kenapa-kenapa mas?”

“Eh, gak papa, mba,”

“Iya mas, maaf ya, kebetulan saya maba, lagi nunggu temen saya, mari mas,”

Clara mempersilakannya untuk melintas, tetapi pemuda itu justru tampak berpikir keras sambil melihat wajahnya.

“Maaf, mba, saya juga maba. Mba dari farmasi mana, ya?”

“Oh, saya industri,”

“Wah, sama dong. Mba ini Carla, bukan? Kalau tidak salah”

“Oh, sama toh? sebetulnya ‘Clara’, mas.”

“Ah, iya, Clara. Aku Handoko,”

Lelaki itu memberikan jabat tangan. Merekapun menjadi teman sejak hari itu. Teman laki-laki pertamaku di farmasi ini.

Semester demi semester berlalu, hubungan Handoko dan Clara semakin erat. Handoko dan Clara sama-sama bisa balance antara akademis, organisasi, lomba, bahkan hobi dalam kehidupan kuliahnya — mereka adalah couple idaman teman-teman kampusnya. Akan tetapi, mereka tidak pernah menggunakan istilah “pacaran” — mereka tetap berteman, meski sudah berterus terang kalau mereka saling suka saat semester 3.

“Kita tidak mau ada muncul mantan-mantanan, atau memancing sikap dan kebiasaan orang pacaran yang malah membuat hubungan kita toksik,”

Clara masih ingat argumentasi Handoko yang begitu dewasa.

“Jika tiba saatnya, aku akan langsung mempersuntingmu saja, Clar. Ngapain pacaran.”

Air mata tidak henti-hentinya mengalir di pipi Clara. Kemudian, memorinya melayang ke momen di mana ia baru saya menyelesaikan skripsi, tahun lalu. Clara mengalami kecelakaan tunggal karena kelalaiannya mengendarakan motor. Ia tidak mengalami cedera fisik yang begitu kentara, tetapi benturan dengan bangjo itu — meski sudah mengenakan helm — mengakibatkan sebagian syaraf di kepala Clara rusak.

Akibatnya, dalam suatu waktu kerja tungkai-tungkai Clara normal, lalu mendadak lumpuh, lalu kembali normal lagi —bisa dalam hitungan detik hingga hari. Sejak saat itu, Clara menjadi difabel. Handoko pun teramat sedih melihat Clara tidak mampu lagi menjalani hari-hari seperti biasanya. Terlebih, belum ada solusi untuk menyembuhkannya. Clara, didukung Handoko, teman-teman, dan sanak-saudaranya, memperoleh dukungan positif dan mulai belajar untuk mengikhlaskan.

Tapi, Ayah tidak mau.

Prof. Herman adalah guru besar teknik kimia di universitas tempat Clara berkuliah. Akan tetapi, ia memiliki latar belakang dan spesialisasi dalam bidang kimia farmasi. Ia tidak terima kalau obat-obatan yang tersedia tidak bisa menyembuhkan anaknya. Lantas, ia berusaha meracik obatnya sendiri. Ia mengambil cuti dari kampus untuk mengurus anak semata wayangnya yang sakit, dan menghabiskan siang, malam, pagi, dan petang untuk meramu obat yang bisa menyembuhkan putrinya.

— BERSAMBUNG KE PART 8 —

--

--

CG Lucaz

Ora gampang dik, dadi wong pinter. Kudu sinau, ben iso dadi d̶o̶k̶t̶e̶r writer!