Koran Malaysia di Tengah Arus Digitalisasi Media

#BeritaKepadaAbang

CG Lucaz
3 min readSep 7, 2023

D. I. Yogyakarta — Pada hari Jumat (1/9), Departemen Ilmu Komunikasi (DIKOM) UGM menyelenggarakan kuliah umum bertajuk “Press in Malaysia” yang diisi oleh Prof. Dr. Hamedi bin Moh. Adnan. Beliau adalah guru besar ilmu komunikasi yang berasal dari Malaysia. Selain beliau, dua dosen DIKOM ikut menghadiri kuliah umum tersebut, yaitu Bang Abrar selaku guru besar jurnalisme dan Mas Jusuf selaku moderator. Peserta kuliah umum sendiri didominasi oleh mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi tahun angkatan 2022.

Kuliah umum dimulai pukul 15.30 WIB dan dibuka oleh perkenalan diri Prof. Hamedi. Beliau mengajar di University of Malaya dan memiliki spesialisasi dalam bidang jurnalisme, penerbitan, serta media baru. Sepanjang karir akademisnya, beliau telah merilis 23 buku, 98 artikel, serta membimbing lebih dari 60 disertasi. Selain itu, beliau juga tengah mengampu jabatan sebagai Presiden dari Persatuan Editor Malaysia (PEM).

Prof. Hamedi kemudian menjelaskan terlebih dulu tentang latar belakang sosio-kultural negara asalnya. Malaysia merupakan negara multietnis yang didominasi oleh tiga kelompok, yakni Melayu, Tiongkok, dan India. Perkembangan pers di Malaysia ikut dipengaruhi oleh eksistensi kebudayaan berbeda yang dimiliki kelompok-kelompok etnis tersebut. Konstelasi surat kabar Malaysia sendiri dapat dipetakan ke dalam empat bahasa, yakni Bahasa Inggris, Melayu, Mandarin, dan Tamil.

Prof. Hamedi menerangkan bahwa surat kabar Malaysia merupakan media informasi yang paling diandalkan selama kurang lebih 2 abad terakhir. Hadir pertama kali di Negeri Jiran pada tahun 1806 (The Prince of Wales Island Gazette), surat kabar masih diminati sebagian besar masyarakat meski mengalami disrupsi akibat kehadiran radio dan televisi. Puncaknya, melansir dari situs MalaysiaKini, adalah sirkulasi sebesar 4,7 juta oplah sepanjang tahun 2007.

Akan tetapi, Prof. Hamedi menjelaskan bahwa industri surat kabar akhirnya diguncang lebih keras oleh kemunculan internet, lebih tepatnya jurnalisme online. Pada awal 2010-an, orang-orang semakin banyak mengandalkan internet sebagai etalase pencarian informasi. Kecepatan pemberitaan dalam skala yang jauh lebih masif, disertai konsep citizen journalism (siapa pun mungkin untuk menjadi jurnalis tanpa latar belakang profesi atau pendidikan jurnalisme) disebut Prof. Hamedi sebagai beberapa faktor utama dahsyatnya disrupsi terhadap pers tradisional tersebut.

Prof. Hamedi lantas mempresentasikan data hasil audit Biro Sirkulasi Malaysia tahun 1993–2016. Data tersebut menunjukkan bahwa akumulasi sirkulasi surat kabar cetak dari Berita Harian, News Strait Times, Utusan Malaysia, dan China Press tahun 2016 tidak sampai menyentuh angka 410.000 tiras, padahal empat tahun sebelumnya masih berada pada kisaran 597.000 tiras. Anjloknya sirkulasi sebesar 30% dalam waktu relatif singkat merupakan bukti konkret dahsyatnya disrupsi teknologi yang berdampak pada industri pers tradisional Malaysia.

Kondisi tersebut akhirnya memaksa beragam redaksi surat kabar cetak untuk berhenti beroperasi, tak terkecuali perusahaan-perusahaan besar. Beberapa contohnya adalah The Tamil Nesan yang gulung tikar pada tahun 2019 setelah 95 tahun berdiri, Malay Mail yang berhenti mencetak koran pada tahun 2018 dalam usia 122 tahun, dan Oriental Daily yang beralih secara penuh ke platform digital pada tahun 2021.

Prof. Hamedi menyatakan bahwa industri koran cetak Malaysia memang sedang meredup dan sangat mungkin menemui akhirnya dalam beberapa dekade mendatang. Beliau prihatin terhadap masa depan media jurnalisme tradisional tersebut yang, menurutnya, masih memiliki keunggulan dibandingkan media digital. Akan tetapi, mustahil rasanya untuk membendung arus perkembangan teknologi yang utamanya sudah “menyeret” generasi muda sekarang — dan generasi berikutnya — menjadi digital natives.

Jika berbicara solusi praktis, memang beberapa redaksi telah sukses bertransformasi menjadi media jurnalisme digital. Akan tetapi, jika ingin sungguh-sungguh menyelamatkan industri percetakan surat kabar dari “kepunahan”, maka diperlukan sebuah model bisnis inovatif yang mampu menarik minat digital natives untuk setidaknya kembali menikmati sajian jurnalisme tradisional.

Mahasiswa/i tampak antusias menyimak pemaparan kuliah Prof. Hamedi. Di penghujung sesi, beliau menyempatkan diri untuk menjawab pertanyaan beberapa mahasiswa yang masih penasaran akan situasi pers di Malaysia serta perbandingannya dengan pers di Indonesia. Sebagai penutup, Bang Abrar menyampaikan sepenggal kisah nostalgianya ketika pertama kali mengenal sosok Prof. Hamedi sekaligus mengucapkan terima kasih atas ketersediaan beliau mengisi kuliah umum sore itu. ~CG

--

--

CG Lucaz

Ora gampang dik, dadi wong pinter. Kudu sinau, ben iso dadi d̶o̶k̶t̶e̶r writer!