Kota Paling Gitu-Gitu Aja

Ini private opinion dari POV gue sendiri. So, artikel ini jelas subjektif, pake “banget”. Mohon isinya tidak digeneralisasi, kawan ;^)

CG Lucaz
5 min readMar 7, 2023

Tadi pagi, gue melihat seorang mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi sedang asyik bikin tulisan Medium di sudut ruangan Digilib lantai tiga (daripada istilah “perpus digital”, gue lebih sreg bilang tempat itu “warnet”-nya Fisipol UGM!). Belom sempet nanya lagi bikin cerita apaan, gue udah keduluan ditanya sama orang itu.

“Loz, kalau kamu dengar kata ‘Prambanan’, apa yang muncul di pikiranmu?”

Candi lah. Kalian juga pasti jawab itu. Hanya saja, dia sedang mencari jawaban lain. Spontan gue jawab kalau itu tempat asalnya dia. Dia nyengir.

“Yang lain, jangan itu,” katanya.

“Ya tempatnya si Sarwindah Dwi Yuntari, siapa lagi?”

Sang pemuda Prambanan menutup separuh mukanya dengan tangan kirinya, tanda sedang kebingungan (sebenernya bisa tanda macem-macem sih, tergantung kebutuhan). Biasanya, dia melakukan signature move itu dengan kedua tangannya. Sayang, mata kanannya sedang diperban. Banyak teman-teman kampus yang penasaran kenapa matanya bisa sampai begitu. Rumor-rumor pun beredar: ngintip orang mandi, kemasukan t** cicak, dikencingin tuyul… aneh-aneh pokoknya. Mohon diklarifikasi kebenarannya, Mas Riyan (Hadi)!

Akhirnya, gue bantu jawab sekali lagi: Prambanan adalah area yang pasti dilewati kalau dari Jogja mau ke Klaten, atau sebaliknya. Jalur darat, of course. Sepertinya Riyan puas dengan jawaban gue dan dia lanjut ngetik di laptopnya. Barangkali dia bakal post itu cerita malam ini.

Nah, gara-gara si Prambanan, gue jadi tertarik untuk mengulas sebuah kota. Untuk sesaat, memang terbesit kota-kota elit bangsa Las Vegas atau Dubai. Gue juga sempet mikir untuk ngangkat kota yang jadi pusat konflik antarnegara macam Kabul atau Yerusalem gitu.

Tapi, setelah gue pikir-pikir lagi, itu semua mana ada yang pernah gue tinggalin. Orang bisa dengan gampang cari tahu tentang mereka di Google. Mereka juga pasti udah diulas berulang kali oleh penduduk asli sana. Padahal, gue lagi mencari kota yang (kalau bisa) gak terlalu populer, tetapi juga udah pernah gue tempatin.

Jakarta? Siapa yang kagak tau. Dari bahasa tulisan ini juga orang bisa ngerti. Skip. Bandung & Jogja sama-sama baru 8 bulan gue tinggalin, belom eksplor banyak. Lagian, kota-kota ini semuanya populer banget, gue yakin. Mereka ada di atas sana — bareng Surabaya, Denpasar, Manado, dkk. Udah jelas, pilihannya jatuh ke kota di mana gue ber-SMP dan SMA.

“Kota Udang”, “Kota Berintan”, Cirebon namanya. Kebetulan, di angkatan gue, cuma gue yang dateng dari kota itu.

sumber: DALL-E 2 (diciptakan 7-3-23)

Gue inget waktu awal kenalan di kampus, temen-temen gue bisa memperkenalkan kota asal mereka dengan luwes, bahkan mungkin bangga. Contoh aja, Namboru Alma Alysha Br Tarigan si penguasa Medan, intan rahmasari yang pegang seantero Jember, sampai Nandini Mu’afa Rahmatulloh sang reporter ulung sekaligus pawang reog asli Ponorogo. Bahkan, celotehan Muhammad Ghazi Algifari sempet bikin gue penasaran sama yang namanya Lampung. Dalam benak gue, mereka cocok lah jadi putra-putri daerah masing-masing, asa klop.

Tapi, kalau gue ditanya tentang kota asal gue — si Cirebon ini — gue pasti akan jawab dengan apa adanya. Ga ada yang menarik di sono. Udah ga usah kalian liburan ke sana.

Mau tahu kenapa? sekali lagi — gue gak make yang namanya data statistik di sini. Ini pure opini pribadi. Kalian boleh cari data-data itu sendiri, tetapi perihal apa yang gue rasakan selama tujuh tahun idup di Kota Cirebon, ya memang average banget kotanya.

Soal budaya dan tradisi Cirebonan, jujur aja gue: 1) cuma sebatas tahu, 2) gak lihat adanya sesuatu yang menonjol, 3) entah mengapa dapetnya kabar miring aje.

Gini, di Cirebon itu ada kesenian yang namanya tari topeng dan musik tarling (gitar-suling). Gue apresiasi karena mereka memang punya keunikannya sendiri, tapi ya sebatas itu aja. Lagu tradisionalnya yang paling terkenal, Warung Pojok, udah jadi lagu wajib di perlombaan-perlombaan padus di sana. Sementara itu, persoalan “kabar miring” yang gue mention mungkin cukup sensitif, tetapi menggelitik juga.

Jadi, yang gue tahu, rata-rata orang luar sering memandang bahasanya orang Cirebon sebagai perpaduan antara bahasa Jawa dan Sunda, sehingga lebih mirip dialek. Tetapi, faktanya, Cirebon itu indeed punya bahasanya sendiri. Adek gue belajar kok di SD-nya; masuk kurikulum muatan lokal.

Nah, terkadang, kecenderungan Cirebon untuk mau berbeda dari kedua “tetangga besar”-nya tadi sering dijadikan candaan berbau kritik (termasuk oleh orang-orang Cirebonnya sendiri), terutama ketika disangkut-pautkan dengan isu politik. Desas-desusnya, Cirebon — bersama teman-temannya di Wilayah III (Kuningan, Majalengka, Indramayu) — sedang menghimpun kekuatan untuk memisahkan diri dari Jawa Barat dan hendak mendirikan provinsi baru. Ini masih desas-desus lho ya, tapi dari SMA dulu memang sering sarkas ke kota sendiri pake pengandai-andaian itu 😂.

Di sektor publik sendiri, kaga ada perkembangan yang signifikan. Tempat hiburan ya itu-itu aja, pusat belanja ya itu-itu aja, tempat nongkrong juga itu-itu aja. Taman kota — ini yang paling parah — malah gak ada (kalau ada yang mau klaim blok kecil di pertigaan Krucuk itu taman, sini gue jitak!).

Gue juga membandingkan si Cirebon ini sama Jakarta dan Purwokerto. Rumah lama gue depannya plong jalan raya waktu gue pindah tahun 2014. Eh, 2016 udah ada flyover-nya! Sementara, temen gue orang Cirebon ada yang kuliah di elektro Unsoed, sekarang semester 6. Dia juga ngerasa kalau si Cirebon ini kagak berubah tiap kali dia pulang, kecuali panas dan macetnya yang “makin-makin”.

Bicara panas, gue berani adu kalau Kota Cirebon itu kota yang paling hot se-Jawa Barat, agruably se-Pulau Jawa. Masuk top 5 se-Indonesia juga gak kaget. Kalian siang-siang aktivitas indoor di Cirebon tanpa AC atau kipas kecepatan 2 minimal, kelar idup. Aktivitas luar ruangan bisa lebih parah. Lihat aja gue ampe belang begini. Andai gue nolak waktu dimasukin tim paskibra SMP :”

Banyak kemungkinan penyebab si Cirebon bisa panas begitu rupa, tapi menurut gue yang paling logis itu karena letak kota yang mepet banget sama laut. Like, jarak pusat aktivitas kota ke tepi pantai itu rata-rata gak lebih dari 5 kilometer. Memang, kota itu bentuknya rada melonjong mengikuti garis pantai. Kalau ada tsunami di sana (amit-amit), udah jelas bakal ancur merata itu kota.

Selain itu, di Kota Cirebon ada pelabuhan barang yang sempat bikin perkara. Intinya, si pihak pelabuhan kaga make filter debu batubara selama proses bongkar muat dan penyimpanan. Akhirnya, pas dateng ke sekolah kelas 7 dulu, pernah satu gedung isinya debu batubara semua, mirip pasir hitam. Suster-suster yayasan sekolah gue ampe joinan sama LSM-LSM lokal buat demo ke kantor Walikota di Jalan Siliwangi. Gue inget banget karena gue ikutan :^)

Kalau masalah macet, ini gue heran sih. Kenapa ini kota malah makin padet? Pada demenkah orang sama kota yang stagnan begini? Hooo, Cirebon boleh gitu-gitu aja, tapi biaya hidupnya murah, mungkin itu isi pikiran mereka.

sumber: DALL-E 2 (diciptakan 7–3–23)

Dan itu bener, gue akui. Modal Rp10000 di sana, kalian bisa kenyang; tinggal pilih mau makan nasi jamblang, nasi lengko, mie koclok, empal gentong, atau docang (ini pricelist abang-abang gerobak dan kantin sekolah lho ya, bukan yang ala-ala restoran).

Terus, apa lagi? Udah sih, emang gak banyak hal menarik yang bisa gue deskripsikan lebih lanjut tentang kota satu ini. Meski demikian, Cirebon selalu memiliki tempat spesial di hati gue (ceileeeh!). Malahan, gue udah kasih “penghargaan spesial” untuk kota ini, yaitu “Kota Paling Gitu-Gitu Aja Sejagad”.

Best wishes untuk Kota Cirebon.

--

--

CG Lucaz

Ora gampang dik, dadi wong pinter. Kudu sinau, ben iso dadi d̶o̶k̶t̶e̶r writer!